Ketika Tanam Susuk Ditangga Nada: Kembalinya Maestro Dadang S. Manaf Percobaan Musik Tiga Zaman
jabarmedsos. com - Pada suatu sore di sebuah rumah sekaligus studio rekaman di Bogor, aroma nostalgia dan energi muda tiba-tiba bertemu. Di ruang akustik yang temaram itu, seorang maestro duduk membungkuk di depan piano, memainkan nada-nada yang terasa seperti pernah kita dengar, namun dengan nuansa yang berbeda. Lelaki itu adalah Dadang S. Manaf, pencipta lagu yang karyanya pernah menjadi tembang wajib remaja era 80–90an. Namun kali ini, ia tidak sedang membuat lagu pop sentimental seperti dulu. Ia tengah menggarap theme song film Tanam Susuk.
Tak jauh darinya, berdiri seorang vokalis dengan rambut acak khas grunge, wajah penuh keseriusan dan rasa ingin tahu: Dhanurendra, vokalis band Dirty Frank. Sementara di balik mixer, dua gitaris dari band pop melayu Dadali, Rickarjd (Ikar) dan Boim, sibuk menyempurnakan frekuensi suara yang sebentar lagi akan menjadi bagian dari sejarah musik film Indonesia.
Di ruangan itulah, tiga dunia musik bertemu: balada klasik, grunge mentah, dan pop melayu modern. Dan hasilnya, sebuah eksperimen lintas generasi yang jarang terjadi.
DADANG S. MANAF: Sang Arsitek Nada yang Melampaui Zaman
Banyak pencipta lagu datang dan pergi, namun hanya sedikit yang mampu menembus batas generasi. Dadang S. Manaf termasuk yang sedikit itu.
Pada masanya, ia adalah fondasi dari industri musik pop Indonesia. Lagu-lagunya, seperti “Nostalgia SMA”, “Januari Biru”, hingga “Jangan Pisahkan”, bukan hanya sekadar hits radio, tetapi menjadi pengantar perasaan banyak orang. Ia menulis lagu yang menyentuh, jujur, dan mudah melekat.
Ia pernah menerima berbagai penghargaan apresiatif dari industri musik, termasuk sejumlah penghargaan pencipta lagu dalam berbagai kompilasi dan album pop yang sukses secara komersial.
Setelah sekian tahun lebih banyak di balik layar, ia tiba-tiba kembali ke pusat perhatian. Tidak dengan romansa pengantar tidur, tetapi dengan tantangan baru: membangun atmosfer musikal untuk sebuah film horor-mistis modern.
“Musik film memiliki jiwa yang berbeda. Ia bukan hanya dinikmati, tetapi dirasakan,” ujar Dadang suatu ketika. Kata-katanya mencerminkan pengalaman seorang maestro, tenang, sederhana, namun penuh keyakinan.
DHANURENDRA: Tunas Grunge yang Menyuarakan Gelapnya Balada
Grunge tidak lazim dipasangkan dengan balada maestro. Namun justru itulah kejutan dalam proyek ini.
Dhanurendra, yang dikenal lewat single miliknya: “Apakah Benar dan Memang Benar,” adalah penyanyi yang datang dari dunia musik berbeda. Suaranya berat, lantang, kadang terkesan liar. Gaya vokalnya adalah perlawanan terhadap musik pop yang rapi. Namun, saat ia diberi draft lagu Tanam Susuk, ia merespons dengan antusiasme yang tak disangka.
“Saya tumbuh di era grunge, tapi karya Pak Dadang adalah sejarah. Saya bangga bisa menjadi jembatan antara generasi lama dan baru,” ujarnya saat sesi rekaman.
Di ruang vokal, Dhanurendra mencoba berbagai pendekatan, dari fiksi psikologis hingga vokal distorsi ringan, untuk menciptakan energi yang sesuai dengan tema film. Ia seperti sedang mencari posisi antara roh 90-an dan tuntutan sinematik masa kini.
Dan hasilnya, sebuah suara yang menambah kedalaman pada komposisi Dadang.
RICKARJD & BOIM: Jejak Pop Melayu di Ruang Sound Engineering
Nama Dadali tentu tidak asing. Band pop melayu asal Bogor ini merajai YouTube pada awal 2010-an dengan lagu-lagunya seperti: “Di Saat Aku Mencintaimu,” “Disaat Sendiri,” “Dewi."
Besarnya pengalaman memproduksi lagu-lagu populer membuat dua gitaris mereka, Rickarjd dan Boim, menjadi pilar penting dalam proses produksi theme song Tanam Susuk. Kini keduanya bekerja sebagai soundman profesional. Keahlian mereka mengoperasikan audio digital modern menjadi fondasi teknis rekaman ini.
Mereka memastikan suara piano Dadang tetap hangat, vokal Dhanurendra tetap jernih dalam kekasarannya, dan nuansa atmosferik film dapat muncul tanpa kehilangan ciri khas sang maestro.
Tak banyak yang tahu, Dadali adalah band yang pernah mencetak prestasi jumlah penonton digital yang mengesankan di era awal kebangkitan YouTube Indonesia. Reputasi teknis mereka bukan hal sembarangan.
Apa jadinya jika komposer balada klasik, vokalis grunge, dan teknisi musik pop melayu dipertemukan? Jawabannya: Eksperimen estetika.
Tidak ada yang dominan. Tidak ada unsur yang dipaksakan. Yang ada justru sebuah titik temu: melodi mendalam khas Dadang, diapungkan oleh vokal emosional Dhanurendra, lalu dimatangkan oleh sentuhan audio modern Dadali.
Para pengamat musik menyebutnya “pertemuan yang tidak direncanakan, tapi seharusnya memang terjadi.”
Lagu ini tidak hanya menjadi bagian dari film, tetapi bisa berdiri sendiri sebagai karya lintas zaman.
KEMBALI KE PANGGUNG UTAMA
Kembalinya Dadang S. Manaf ke industri film justru hadir pada waktu yang tepat. Di era digital yang serba instan, publik merindukan karya musik yang memiliki kedalaman emosional. Dan itulah kekuatan yang dibawa Dadang.
Jika selama ini film-film Indonesia lebih banyak mengandalkan sound efek ketimbang lagu tema, maka kehadiran Tanam Susuk bisa menjadi pembuka jalan bagi bangkitnya kembali tradisi theme song yang kuat, seperti era Warkop, Rano Karno, hingga film-film romantis awal 2000-an.
TANAM SUSUK SEBAGAI METAFORA
Di dunia mistis, susuk ditanam untuk mengikat perhatian atau menambah pesona. Dalam musik, terkadang melodi pun bekerja dengan cara yang sama, meninggalkan bekas, menetap diam-diam, lalu mengikat jiwa pendengarnya.
Dalam proyek film Tanam Susuk ini, Dadang S. Manaf menanamkan susuk musikal baru:
• melalui tangan seorang maestro,
• melalui suara seorang generasi baru,
• dan melalui kejernihan dua teknisi musik modern.
Apa hasil akhirnya? Waktu yang akan menjawab. Namun satu hal sudah jelas: Indonesia sedang menyaksikan sejarah kecil dalam dunia musik film, lahirnya kolaborasi tiga generasi dalam satu lagu.
No comments