Para Penjaga Gerbang yang Menjual Peta: Aktivisme, Profesionalisme, dan Pengkhianatan yang Disamarkan (Tedi Yusnanda N - pegiat Sarasa Institute)
Tedi Yusnanda N (Sarasa Institute)
Konon di gerbang Troy, para penjaga kota itu bersumpah pada dewa-dewa untuk setia sampai mati. Namun kita tahu betapa sejarah diwarnai pengkhianatan. Sinon, sang Yunani licik, berhasil meyakinkan orang Troy untuk menarik kuda kayu ke dalam temboknya. Pengkhianatan tak selalu berupa pembelotan terang-terangan. Kadang ia memakai wajah yang bersahabat, lidah yang pandai menenangkan, atau laporan evaluasi yang terlihat netral.
Kita hidup di zaman yang konon sudah tercerahkan: aktivisme profesional, advokasi berbasis bukti, akuntabilitas pendanaan, semua terdengar mulia. Tapi di balik presentasi PowerPoint dan proposal terstruktur, terkubur satu dosa lama: pengkhianatan pada keadilan demi bayaran.
Tak hanya mereka yang terang-terangan mencantumkan tarif pendampingan di RAB, tetapi juga mereka yang pura-pura menolak bayaran, yang menampilkan diri sebagai relawan tanpa pamrih, namun di belakang layar menjual informasi pada siapapun yang sanggup membelinya. Inilah para penjaga gerbang yang sebenarnya memetakan jalan masuk musuh.
Michel Foucault menulis bahwa kuasa bekerja lewat produksi pengetahuan. Yang tahu lebih dulu, yang memetakan konflik, yang menguasai narasi, dialah yang berkuasa. Maka informasi adalah komoditas paling mahal. Aktivis yang katanya dekat dengan rakyat, yang menyimpan riset sosial, catatan advokasi, dan jaringan lokal, menjadi pemasok data bagi negara atau korporasi. Bukan lagi sekadar tentara bayaran yang bertempur demi upah, tapi mata-mata yang menjual peta kepada siapa saja.
Homer dalam Iliad menunjukkan betapa perang bukan hanya duel kekuatan, tapi juga strategi menipu, spionase, dan manipulasi kata-kata. Sinon menipu dengan narasi yang meyakinkan. Hari ini, para aktivis bayaran itu pun fasih berbicara tentang “empowerment,” “sustainability,” “inclusive development,” sementara diam-diam mengirim laporan situasi ke lembaga donor, pemerintah, atau perusahaan.
Kita dibuat terpesona pada profesionalisme. Seperti yang dikritik Ivan Illich, profesi mengklaim monopoli pada pengetahuan dan “tata laku etis,” padahal profesi juga bisa jadi struktur korupsi yang dilegalkan. Para aktivis profesional itu mengutuk korupsi politik, tapi mereka sendiri korup dalam arti filosofis: mereduksi kebenaran menjadi data yang bisa dijual.
Secara psikologis, pengkhianatan ini memiliki mekanisme rasionalisasi. Seorang aktivis yang menjual informasi pada pemerintah atau korporasi bisa berkata pada dirinya sendiri: “Aku hanya menjadi jembatan,” “Aku menjaga keamanan,” “Aku mencegah konflik.” Dissonansi kognitif semacam ini mirip dengan apa yang dijelaskan oleh Leon Festinger: kita menyesuaikan keyakinan agar sesuai dengan tindakan kita, agar merasa damai, meski tindakan itu melukai prinsip kita sendiri.
Nietzsche, dalam Beyond Good and Evil, menyingkap bahwa moralitas sering kali hanya topeng untuk kehendak berkuasa. Aktivis yang menjual informasi itu kerap berbicara tentang moral: keselamatan warga, stabilitas sosial, pembangunan inklusif. Padahal yang mereka jual bukan solusi, melainkan kelemahan-kelemahan masyarakat yang bisa dieksploitasi oleh pembeli informasi.
Inilah paradoks profesionalisme: ia menuntut objektivitas dan netralitas, padahal tak ada netralitas di dunia yang timpang. Mereka yang mengaku netral hanyalah berpihak pada yang sanggup membayar. Lebih parah, netralitas pura-pura ini membius publik: membuat seolah semua pihak setara di meja dialog, padahal salah satu pihak sudah membeli peta rahasia dari penjaga gerbang.
Antonio Gramsci berbicara tentang intelektual organik, mereka yang tak sekadar menghasilkan pengetahuan, tapi berpihak pada kelas tertindas. Para aktivis bayaran, apalagi para penjual informasi, jelas bukan intelektual organik. Mereka adalah perantara kekuasaan. Mereka memastikan sistem bertahan dengan cara memetakan potensi resistensi, menenangkan amarah publik dengan retorika partisipatif, dan menjual data kelemahan rakyat ke kantong yang tepat.
Mitos Prometheus yang mencuri api bagi manusia mungkin terasa romantis bagi sebagian aktivis: mereka membayangkan diri sebagai pencuri ilmu bagi rakyat. Tapi banyak dari mereka hari ini lebih mirip Epimetheus, saudara yang bodoh dan ceroboh, yang menerima Pandora dan membuka kotak bencana. Bedanya, para aktivis bayaran itu membuka kotak bukan karena kebodohan, tapi karena bayaran.
Di tengah iklim donor dan proyek yang menuntut hasil terukur, banyak aktivis menjadi manajer program yang lihai menulis proposal, menyiapkan laporan logframe, bahkan membuat baseline study yang sangat rinci. Data itu konon untuk evaluasi. Tapi siapa yang mengaksesnya? Siapa yang memanfaatkannya? Di tangan korporasi tambang, data itu bisa dipakai memecah komunitas. Di tangan negara, ia bisa jadi strategi kontra-insurgensi.
Inilah tragedi kita hari ini: para aktivis yang memulai karier dengan idealisme menjadi broker konflik. Mereka fasih berbicara tentang perdamaian dan inklusi, tapi sebenarnya menjual bahan bakar untuk mesin kekuasaan. Bahkan mereka yang menolak honorarium terbuka kerap menjual yang lebih berharga: kepercayaan warga, rahasia organisasi, peta sosial.
Dalam dunia yang demikian, kita perlu mengingat apa yang ditulis Albert Camus: “Setiap generasi pasti menemukan misinya. Misi itu bisa dijalankan atau dikhianati.” Profesionalisme bukanlah dosa pada dirinya. Tapi ketika profesionalisme menuntut kita menjual keberpihakan atau menjual informasi yang merugikan yang lemah, maka itu bukan profesionalisme tetapi itu pengkhianatan.
Dan barangkali dosa yang paling mengerikan bukanlah pengkhianatan demi upah yang terang-terangan, tapi pengkhianatan yang dibungkus sebagai pengabdian. Penjaga gerbang yang mengaku relawan sambil menjual peta ke musuh. Aktivisme semacam itu bukan hanya memadamkan api keadilan. Ia menyiapkan kayu bakarnya.
*Pojokan Parigi Story, 8 Juli 2025
No comments