Hipogami: Menantang Mitos, Memaknai Sejarah, Dan Menggugat Struktur Kekuasaan Dalam Relasi Cinta
Jakarta - Di banyak kebudayaan, perempuan yang memilih pasangan dengan status sosial, ekonomi, atau pendidikan yang lebih rendah masih dianggap "menurunkan derajat" atau “mengorbankan masa depannya”. Sementara laki-laki yang menikahi perempuan berstatus lebih rendah justru dianggap menunaikan kodrat sebagai pelindung dan pencari nafkah. Fenomena ini dikenal sebagai hipergami—konsep yang telah tertanam dalam berbagai struktur sosial, teks suci, hingga cerita rakyat. Namun dalam dua dekade terakhir, kita menyaksikan munculnya sebuah arus tandingan yang disebut hipogami—ketika perempuan memilih pasangan dengan status yang lebih rendah secara struktural.
Mitos dan Imajinasi Kolektif: Cinta sebagai Transaksi Status
Dunia mitos telah lama membentuk cara pandang kita terhadap relasi cinta dan pernikahan. Dalam mitologi Yunani, misalnya, tokoh seperti Helen dari Troya digambarkan sebagai perempuan yang dinilai dari siapa yang berhasil memilikinya, bukan dari keputusannya sendiri. Dalam kisah Cinderella, narasi pernikahan antara perempuan miskin dan pangeran kaya secara simbolik memperkuat struktur hipergami: perempuan “diangkat derajatnya” melalui hubungan dengan laki-laki berstatus lebih tinggi.
Sebaliknya, nyaris tak ada cerita rakyat yang merayakan perempuan bangsawan atau kaya yang menikahi laki-laki miskin sebagai pahlawan cinta sejati. Bahkan dalam cerita Samson dan Delilah, kekuatan laki-laki diasosiasikan dengan dominasi, sementara perempuan dilukiskan sebagai penggoda yang meruntuhkan tatanan kekuasaan laki-laki. Dalam kerangka ini, hipogami bukan hanya absen, tetapi dianggap subversif—bahkan berbahaya.
Sejarah Sosial: Dari Perkawinan Patriarkal ke Pilihan Personal
Sejarah institusi pernikahan tak lepas dari logika aliansi politik dan penguasaan properti. Dalam banyak kebudayaan feodal dan kolonial, perempuan adalah komoditas dalam negosiasi antar-keluarga atau kerajaan. Pernikahan digunakan untuk memperkuat aliansi kelas, kasta, atau suku, dan perempuan menjadi medium pewarisan status, bukan subjek yang merdeka.
Konstruksi ini mulai terguncang pada abad ke-20, terutama setelah Perang Dunia II, ketika perempuan memasuki dunia kerja secara masif dan memperoleh akses pendidikan tinggi. Di Barat, feminisme gelombang kedua pada 1970-an menyerukan kebebasan perempuan untuk menentukan hidup dan relasinya tanpa tekanan norma patriarkal. Pada saat bersamaan, teori-teori sosiologi dan psikologi mulai mengkaji struktur kekuasaan dalam relasi rumah tangga.
Sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, menyebut relasi semacam itu sebagai arena reproduksi simbolik dari kekuasaan. Dalam buku La Domination Masculine, Bourdieu menjelaskan bahwa ketimpangan dalam relasi gender bukan sekadar biologis, melainkan dibentuk dan direproduksi oleh institusi seperti keluarga, agama, dan pendidikan.
Teori dan Data Sosial: Dari Ketimpangan ke Kesetaraan Relasional
Teori pertukaran sosial (social exchange theory) yang diperkenalkan oleh Blau dan Homans pada pertengahan abad ke-20 memandang relasi sebagai arena negosiasi timbal balik antara "modal sosial" dan "modal ekonomi". Dalam kerangka ini, perempuan yang memiliki pendidikan tinggi dan penghasilan mandiri tak lagi membutuhkan “kompensasi” berupa status atau uang dari pasangan. Kebutuhan emosional, kesetaraan nilai, dan kedekatan intelektual justru menjadi basis baru dalam memilih pasangan.
Studi empiris di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 24% perempuan dalam pernikahan heteroseksual memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi dari suaminya, dan sekitar 16% menjadi pencari nafkah utama. Di Eropa, data Eurostat memperlihatkan bahwa perempuan muda kini lebih mungkin menyelesaikan pendidikan tinggi dibandingkan laki-laki seusianya.
Namun, perubahan ini masih mendapat tantangan dari norma sosial yang tertanam. Dalam studi psikologi evolusioner, masih ditemukan kecenderungan perempuan memilih pasangan dengan status ekonomi lebih tinggi, yang disebut sebagai strategi resource-based mate selection. Tapi pendekatan ini dikritik karena terlalu menekankan determinisme biologis dan mengabaikan dinamika sosial-kultural kontemporer.
Realitas Global: Antara Skandinavia, Asia, dan Media Sosial
Fenomena hipogami lebih mudah diterima di negara-negara dengan indeks kesetaraan gender tinggi seperti Norwegia, Swedia, dan Islandia. Di sana, sistem sosial-politik mendukung perempuan untuk menjadi subjek otonom dalam relasi dan rumah tangga. Bahkan, narasi media arus utama cenderung merayakan pasangan-pasangan egaliter tanpa mempertanyakan siapa yang lebih berkuasa.
Namun di banyak negara Asia, seperti India dan China, hipergami masih mendominasi lanskap pernikahan. Iklan perjodohan masih menyebut tinggi badan, kasta, penghasilan, dan profesi pria sebagai syarat utama. Di China, istilah “perempuan sisa” (sheng nu) digunakan secara peyoratif untuk perempuan lajang usia 30-an yang tidak “turun derajat” demi menikah dengan pria berstatus lebih rendah.
Media sosial memperlihatkan medan tarik-menarik antara nilai-nilai tradisional dan narasi modern. Di satu sisi, gerakan tradwife (istri tradisional) dan passport bros (laki-laki yang mencari istri dari negara berkembang) mereproduksi pola hipergami klasik. Di sisi lain, komunitas feminis, queer, dan edukatif mempromosikan relasi berbasis cinta, kesalingan, dan kesetaraan—melampaui kapital simbolik atau ekonomi pasangan.
Hipogami sebagai Tindakan Kultural dan Politik
Hipogami bukan sekadar pilihan pasangan, tetapi perlawanan simbolik terhadap sistem patriarki yang selama ini menjadikan cinta sebagai mekanisme kontrol status. Ketika perempuan memilih pasangan berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan, bukan hierarki sosial, mereka sedang membangun model relasi baru yang setara dan otentik.
Mungkin, di masa depan, perdebatan soal hipogami dan hipergami akan kehilangan relevansi ketika masyarakat benar-benar menerima bahwa cinta tidak mengenal kasta, gelar, maupun saldo rekening. Tapi untuk saat ini, setiap perempuan yang memilih pasangan tanpa tunduk pada logika status—sedang menulis ulang mitos, menggugat sejarah, dan membangun dunia yang lebih adil dari ranah yang paling intim: relasi cinta.
Dari berbagai sumber
No comments