Pejabat Takut Cacian, Penjilat Kecanduan Pujian (Tedi Yusnanda N)
Tedi Yusnanda N (Pegiat Sarasa Institute)
Di sebuah desa yang jauh dari gemuruh algoritma media sosial, seorang petani tua pernah berkata kepada anaknya yang baru lulus sarjana hukum, “Kalau kau ingin disayang semua orang, jangan jadi pejabat. Jadi penjual bakso saja.” Kalimat itu terdengar seperti lelucon, tapi menyimpan kebijaksanaan yang sayangnya kini semakin langka di republik ini.
Di tengah iklim demokrasi yang seharusnya matang, kita justru menyaksikan kemunduran nalar publik. Pejabat yang seharusnya siap dikritik, justru mudah tersinggung ketika dicaci. Ia merasa martabatnya diinjak, padahal yang sedang diinjak bukan harga dirinya, melainkan kewarasan logika kekuasaan yang telah ia abaikan. Pejabat yang tidak siap dimaki, sejatinya belum selesai memahami pekerjaannya.
Padahal secara normatif, hak untuk mengkritik, bahkan dalam bentuk ekspresi keras seperti caci maki, dilindungi dalam demokrasi modern. Dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Pasal 19, yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005, kebebasan berekspresi dijamin, termasuk menyampaikan pendapat yang menyinggung atau mengejutkan pihak berkuasa, selama tidak mengandung ajakan kekerasan. Menurut filsuf demokrasi John Stuart Mill, dalam bukunya On Liberty, ekspresi yang menyakitkan perasaan pejabat sekalipun harus tetap dilindungi, sebab kebenaran justru sering kali lahir dari keberanian melawan mayoritas yang salah.
Caci maki, dalam konteks politik, bukan sekadar makian kosong. Ia adalah bahasa frustrasi warga atas janji yang diingkari, atas ketimpangan yang dipelihara, dan atas kebijakan yang menyakiti. Ia bukan pembunuhan karakter, tapi bentuk ekstrem dari keterbukaan sistem, agar penguasa tidak menjadi tuli oleh pujian.
Tapi di sinilah penyakit itu justru tumbuh: ketika cacian dianggap ancaman, dan pembelaan terhadap pejabat justru datang dari rakyatnya sendiri, tanpa filter akal sehat. Kita menyaksikan kemunculan sekelompok warga yang tidak hanya membela, tetapi juga menjilat dengan gairah yang memalukan. Mereka menyerang siapa pun yang mengkritik, membungkus setiap cela dengan tuduhan “penghinaan,” “pencemaran nama baik,” bahkan “perbuatan tidak menyenangkan” yang tak lagi diakui dalam KUHP kita yang baru.
Mengapa begitu banyak orang membela pejabat secara membabi buta? Dalam ilmu psikologi sosial, fenomena ini bisa dijelaskan dengan teori identifikasi narsistik (narcissistic identification). Sigmund Freud menyebut bahwa manusia sering kali menjadikan tokoh publik sebagai representasi dari egonya. Ketika pejabat yang ia idolakan dikritik, seolah-olah dirinyalah yang diserang. Maka ia membela bukan karena rasionalitas, tapi karena egonya terusik.
Lebih lanjut, dalam perspektif psikologi klinis, perilaku menjilat ini dapat dikaitkan dengan dependent personality disorder atau gangguan kepribadian dependen, yaitu kondisi di mana seseorang menunjukkan ketergantungan berlebihan pada sosok yang dianggap berkuasa. Mereka merasa aman hanya ketika mendapat persetujuan dari “otoritas”, dan mengalami kecemasan jika harus berpikir atau bersikap berbeda. Ini menjelaskan kenapa mereka rela menghina teman sendiri, memutus hubungan keluarga, atau bahkan berbohong demi membela pejabat yang tak mengenal mereka.
Dalam konteks sosiologis, Erich Fromm menyebut fenomena ini sebagai escapism—upaya melarikan diri dari kebebasan. Demokrasi memberi kebebasan berpikir, tapi kebebasan itu bisa menakutkan bagi sebagian orang. Maka mereka memilih tunduk, memilih jadi budak yang setia, daripada menjadi warga yang merdeka. Mereka menjilat bukan karena bodoh, tapi karena takut. Mereka butuh figur yang bisa mereka puja agar hidupnya terasa berarti.
Ironisnya, perilaku menjilat ini justru membuat pejabat kehilangan mekanisme koreksi. Ia merasa sempurna karena disanjung tanpa henti. Ia hidup dalam rumah cermin seperti Narcissus yang tenggelam dalam bayangan dirinya sendiri. Ia tak lagi mendengar rakyat biasa, hanya mendengar para penjilat yang berkata, “Semua baik-baik saja, Pak.” Maka lahirlah keputusan-keputusan yang absurd, anggaran yang tak menyentuh kebutuhan rakyat, dan proyek-proyek pencitraan yang lebih mementingkan konten TikTok daripada isi perut masyarakat.
Di sinilah pentingnya mencaci. Sebab dalam dunia yang dipenuhi bau dupa penjilat, kata-kata kasar rakyat justru menjadi aroma yang paling jujur. Ia menandakan luka yang tak pernah diperhatikan. Ia menunjukkan bahwa rakyat belum mati rasa. Maka jika pejabat hari ini merasa tersinggung oleh cacian rakyatnya, mungkin sudah waktunya ia mundur, bukan karena dicaci, tapi karena tak sanggup menerima kebenaran pahit dari orang-orang yang digajinya.
Demokrasi tidak tumbuh dari ketakutan untuk disakiti. Ia tumbuh dari keberanian untuk disakiti dan tidak membalas dengan kekuasaan. Maka, kalau tak mau dicaci, jangan jadi pejabat. Kalau tak sanggup mendengar makian, jangan duduk di kursi yang dibeli dengan pajak rakyat. Dan kalau tak mampu berpikir waras, jangan jadi pendukung yang menjilat.
Karena republik ini terlalu mahal untuk diserahkan kepada orang-orang yang mudah tersinggung dan orang-orang yang bangga menjadi budak.
*Pamulang, 27 Mei 2025
No comments