Panglima TNI Perintahkan Prajurit Kawal Kejaksaan: Dinilai Langgar UU Dan Abaikan Reformasi Militer
Jakarta — Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto memerintahkan prajurit TNI untuk menjaga dan mengawal Gedung Kejaksaan Agung serta sejumlah Kejaksaan Tinggi di seluruh Indonesia. Perintah tersebut tertuang dalam Surat Telegram Panglima TNI Nomor TR/422/2025 tertanggal 6 Mei 2025.
Instruksi ini memicu kritik tajam dari berbagai kalangan karena dinilai melanggar prinsip supremasi sipil dalam sistem demokrasi dan tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Pasalnya, pengamanan terhadap institusi penegakan hukum sipil semestinya menjadi domain Polri, bukan TNI.
Juru bicara Kejaksaan Agung, Harli Siregar, membenarkan keberadaan prajurit TNI di kantor kejaksaan dan menyebutnya sebagai bagian dari kerja sama antara Kejaksaan Agung dan TNI yang tertuang dalam Nota Kesepahaman Nomor NK/6/IV/2023/TNI, yang diperbarui tahun 2023.
“Pengamanan ini sebatas fisik saja. TNI tidak ikut campur dalam penanganan perkara,” kata Harli kepada media, Senin (13/5).
Namun pernyataan ini tidak meredakan kekhawatiran masyarakat sipil. Koalisi masyarakat sipil untuk reformasi sektor keamanan menilai kehadiran aparat TNI di lembaga penegakan hukum sipil sebagai bentuk kembalinya militerisme dalam kehidupan bernegara.
“Penempatan TNI untuk menjaga gedung kejaksaan adalah bentuk penyimpangan dari prinsip reformasi TNI pasca-Orde Baru. Tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan yang menyebut pengamanan kejaksaan sebagai bagian dari tugas OMSP,” kata Al Araf, pemerhati militer dan Direktur Imparsial, dalam keterangan tertulisnya.
Tak Ada Dasar Hukum Khusus
Dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, memang disebutkan bahwa Tentara Nasional Indonesia dapat melakukan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Namun, jenis-jenis OMSP secara eksplisit tidak mencakup pengamanan gedung lembaga penegakan hukum.
“OMSP harus berdasarkan keputusan politik negara, bukan hanya sekadar nota kesepahaman antar lembaga,” tegas Al Araf.
Dalam praktik ketatanegaraan, keputusan politik negara merujuk pada mandat dari Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi atas angkatan bersenjata atau melalui Keputusan Presiden (Keppres). Sementara itu, Nota Kesepahaman (MoU) tidak bisa menggantikan hukum formal dan tidak dapat menjadi dasar hukum pengerahan kekuatan bersenjata.
Menghidupkan Bayang-Bayang Dwi-Fungsi
Aktivis hak asasi manusia dan kelompok prodemokrasi menilai kebijakan ini berpotensi menjadi pintu masuk kembalinya praktik dwi-fungsi ABRI, yang sudah dihapus sejak era reformasi. Penempatan militer di wilayah sipil tanpa pengawasan dan batasan jelas membuka ruang intervensi dan konflik kepentingan.
“Ini bisa menjadi preseden buruk yang mengaburkan batas antara militer dan sipil. Harus ada garis tegas agar TNI tidak menjalankan fungsi keamanan dalam negeri, yang merupakan tugas Polri,” ujar Tedi Yusnanda N., aktivis kebijakan publik dari Pangandaran.
Dorongan Revisi Aturan atau Evaluasi MoU?
Sejumlah pakar hukum tata negara mendorong agar Presiden dan DPR segera menegur kebijakan Panglima TNI yang dinilai berlebihan. Di sisi lain, mereka juga mendesak adanya evaluasi terhadap seluruh nota kesepahaman antara TNI dan lembaga-lembaga sipil untuk memastikan tidak bertentangan dengan semangat reformasi sektor keamanan.
“Jangan biarkan nota kesepahaman menjadi cara pintas menabrak aturan hukum. TNI adalah alat pertahanan negara, bukan alat keamanan dalam negeri,” kata Prof. Zainal Arifin Mochtar dari Universitas Gadjah Mada.
Respons TNI
Hingga berita ini ditulis, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto belum memberikan keterangan resmi terkait kritik yang muncul. Namun, Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Julius Widjojono menyatakan bahwa kehadiran TNI hanya bersifat bantuan terbatas dan tetap berada di bawah koordinasi kejaksaan.
“Kita hanya bantu pengamanan. Tidak ikut campur proses hukum,” ujar Julius singkat.
No comments