Mitra, Afiliator, dan Mitos Kemerdekaan Buruh Digital
Adalah Tedi Yusnanda N., Direktur Eksekutif Sarasa Institute, yang melontarkan refleksi tajam tentang nasib buruh era platform. Dalam percakapan melalui telepon, Tedi menguliti satu demi satu mitos yang membalut kenyataan getir di balik istilah-istilah seperti mitra, afiliator, dan konten kreator.
“Dalam kamus kapitalisme platform, tak ada buruh. Yang ada hanya ‘mitra’ dan ‘afiliator’, seolah mereka duduk setara di meja kekuasaan digital. Padahal mereka adalah proletar baru yang bekerja tanpa jaminan, tanpa perlindungan, dan tanpa daya tawar,” kata Tedi membuka paparannya.
MITOS DAN PENGECILAN BURUH: KETIKA KETIMPANGAN DILUKIS DENGAN KATA INDAH
Tedi meminjam istilah mythologies dari Roland Barthes untuk membaca pola produksi makna dalam narasi perusahaan digital. “Barthes menyebut mitos bukan sekadar dongeng, tetapi bahasa yang digunakan kekuasaan untuk menormalisasi ketimpangan. Dalam konteks ini, ‘mitra’ dan ‘afiliator’ adalah bahasa hegemonik yang menyembunyikan relasi subordinasi,” ujarnya.
Menurutnya, penggunaan kata mitra dalam ojek online atau afiliator dalam pemasaran digital bukan sekadar strategi branding. Ia adalah cara perusahaan menghindari kewajiban sebagai pemberi kerja. “Kalau disebut buruh, maka ada hak. Tapi kalau mitra, yang muncul justru ilusi kebebasan. Padahal jam kerja, penghasilan, bahkan algoritma yang menentukan nasib mereka, semua diatur sepihak,” tambahnya.
DARI PABRIK KE PLATFORMS: BURUH BARU DALAM MESIN DIGITAL
Buruh digital, menurut Tedi, bukan fenomena baru. Ia kelanjutan dari logika kapitalisme yang bertransformasi dari pabrik ke platform. “Dulu buruh tunduk pada mesin dan bel pabrik. Hari ini buruh tunduk pada notifikasi dan rating. Teknologinya berubah, tapi relasi kekuasaannya tetap vertikal,” jelas Tedi.
Ia membandingkan situasi ini dengan konsep alienasi Karl Marx: saat manusia terpisah dari hasil kerjanya dan dikendalikan oleh struktur yang tidak ia kuasai. “Pengemudi ojek online tak tahu bagaimana sistem menentukan bonus mereka. Affiliate marketer tak paham bagaimana algoritma membunuh jangkauan mereka. Semua diatur sistem, dan sistem itu adalah mesin tak terlihat,” katanya.
Tedi menyebut para buruh digital ini sebagai bagian dari “kelas tanpa kesadaran”, meminjam istilah Antonio Gramsci tentang dominasi ideologis yang membuat kelas tertindas menerima penindasan sebagai kewajaran. “Para buruh digital diajari untuk bangga sebagai pejuang mandiri, bukan melihat diri sebagai bagian dari sistem yang mengeksploitasi,” tegasnya.
BUDAYA KERJA DAN GAMIFIKASI PENINDASAN
Dalam banyak kasus, Tedi menunjukkan bagaimana logika pasar bekerja lewat gamifikasi. “Mereka diberi medali virtual, lencana pencapaian, dan dashboard penuh grafik—semua untuk menciptakan adiksi kerja tanpa disadari,” ujar Tedi sambil menyebut istilah “surplus enjoyment” dari Slavoj Zizek.
“Kita sedang menyaksikan era baru eksploitasi, di mana para buruh justru mencintai belenggunya,” lanjutnya.
Tedi juga menyinggung tentang ketimpangan struktural yang tersembunyi di balik algoritma. “Tidak ada transparansi. Tidak ada ruang negosiasi. Bahkan pengemudi bisa ‘dipecat’ hanya karena sistem menilai performa mereka menurun—tanpa proses hukum, tanpa mediasi,” tegasnya.
MENUJU ORGANISASI BARU: BURUH DIGITAL PERLU RUMAH
Menutup paparannya, Tedi menyerukan pentingnya membentuk serikat digital, sebuah wadah advokasi dan solidaritas untuk para buruh platform. “Bentuk organisasinya harus cair, adaptif, dan melek teknologi. Tapi prinsipnya tetap sama: melawan eksploitasi dan memperjuangkan keadilan struktural,” katanya.
Ia mengajak semua pihak, termasuk akademisi, aktivis, dan pekerja digital sendiri, untuk memulai pendidikan kesadaran kelas. “Jika dulu Marx mengatakan bahwa buruh hanya bisa membebaskan dirinya dengan menyadari dirinya sebagai buruh, maka di era ini kita harus menolong para ‘mitra’ menyadari bahwa mereka adalah buruh,” pungkasnya.
No comments