Kita Pernah Muda, Kita Masih Bahagia: Reuni Slayer 29 Menolak Lupa
Jakarta — Di sebuah sudut nostalgia yang tak pernah benar-benar hilang dari hati para alumninya, SMP Negeri 29 Jakarta, yang akrab dijuluki Slayer 29, kembali menjadi saksi riuh rendah canda dan tawa angkatan 1990. Bertempat di Ayam Panggang Situ Gintung, Sabtu siang (17 Mei 2025) yang sejuk itu berubah menjadi ajang reuni penuh warna, di mana waktu seolah berhenti, dan semua yang hadir kembali menjadi anak-anak SMP dengan seragam biru-putih, celana pendek, dan tawa yang tak pernah kehabisan bahan.
Acara dibuka dengan sambutan dari Imam, Ketua Angkatan 1990, yang tampil sederhana namun menyentuh. Dengan suara tenang dan senyum yang membawa kembali ingatan pada masa sekolah, ia menyampaikan:
"Hari ini bukan hanya tentang mengenang masa lalu, tetapi tentang merayakan ikatan yang tak pernah putus oleh waktu. Kita semua datang dari jalan hidup yang berbeda, membawa cerita masing-masing. Tapi di sini, kita duduk dalam lingkaran yang sama, lingkaran yang dibentuk oleh cinta, persahabatan, dan sejarah yang pernah kita jalani bersama.”
Ia juga menambahkan harapan agar silaturahmi ini terus berlanjut. “Mari kita jaga ruang ini, agar tetap hangat dan hidup, tak hanya hari ini, tapi sepanjang usia kita,” ujarnya, disambut tepuk tangan meriah dari para alumni.
Imam (Ketua Angkatan 1990)Sementara itu, Lola, Ketua Pelaksana kegiatan, tampak menahan haru saat berdiri di hadapan teman-teman lamanya. “Saya sangat terharu, banyak yang datang bahkan dari luar pulau. Ini membuktikan bahwa hati kita tidak pernah benar-benar jauh dari Slayer 29,” katanya, menahan air mata haru. Ia menyebut acara ini sebagai “lembutnya ingatan yang menolak pudar.”
Lola (Ketua Pelaksana)
Dari balik layar teknis dan keuangan, Lisma, sang bendahara, menjadi sosok kunci yang memastikan segalanya berjalan tanpa hambatan. “Alhamdulillah semua berjalan lancar, dana cukup, makanan cukup, canda tawa melimpah, dan semangatnya luar biasa. Ini acara hati, bukan sekadar logistik,” tuturnya sambil tersenyum puas.
Lisma (Bendahara)Menghidupkan suasana adalah tugas dua MC legendaris dari kalangan alumni sendiri, Donny dan Linda. Sejak mikrofon pertama kali mereka genggam, gelak tawa tak pernah berhenti. Dengan celotehan khas tahun 90-an dan referensi lagu-lagu jadul, mereka menghidupkan kembali suasana kelas sosial yang penuh canda dan keusilan masa remaja.“
"Ini bukan sekadar reuni, ini adalah pengingat bahwa kita pernah tumbuh bersama dalam satu ruang, satu zaman, dan satu kenakalan,” canda Donny, disambut sorak dan tepuk tangan.
Donny dan Linda (MC)Ada sesi yoga santai yang berakhir menjadi lomba gaya absurd, tebak-tebakan soal siapa dulu sering bersembunyi saat ulangan, hingga joget massal yang membuat semua lupa usia. Dan seperti pertemuan sejati yang tak pernah hanya berisi tawa, terselip pula sekelumit kenangan yang sempat disimpan lama: tentang cinta yang tak pernah sampai.
Seorang alumni dengan nada tertawa getir bercerita bahwa ia pernah menulis surat cinta kepada seorang teman sekelas, dengan rapi dan penuh harap. Tapi surat itu tak pernah sampai ke tangan sang pujaan hati. “Sahabatnya yang merobeknya sebelum dibaca, katanya saya nggak pantas. Padahal saya cuma ingin bilang terima kasih karena dia sering pinjamkan penggaris,” katanya, disambut gelak tawa dan tepuk bahu penuh simpati dari teman-teman seangkatannya. Cinta monyet itu kini tak lagi sakit, tapi manis dikenang.
Reuni ini juga menjadi ruang sunyi untuk mereka yang telah lebih dahulu pergi. Doa bersama dipanjatkan dengan khidmat, mengingatkan semua bahwa waktu tak pernah menunggu siapa pun. Dalam diam yang sakral, semua berdiri dan mendoakan sahabat-sahabat lama.
Salah satu alumni, Idoep, membagikan kesan mendalamnya. “Saya datang dengan ragu, tapi pulang dengan hati yang penuh haru. Melihat wajah-wajah yang dulu pernah saya kenal, rasanya seperti menemukan kembali bagian dari diri saya yang pernah hilang. Reuni ini bukan sekadar temu fisik, tapi juga penyambung jiwa.”
Idoep (Alumni)
Berbagai cerita klasik pun mengalir seperti sungai waktu yang tak tersumbat: siswa yang lari dari razia rokok, kisah dikerjai kakak kelas, sampai tawuran yang kini jadi bahan tawa. Salah satu alumni bahkan mengaku bangga saat dulu menantang SMA favorit, meski kemudian justru dikerjai saat masuk SMA tersebut. “Waktu itu rasanya jagoan banget, sekarang malah diketawain anak sendiri,” candanya.
Seperti kata Soren Kierkegaard: “Hidup hanya bisa dipahami dengan melihat ke belakang, tetapi harus dijalani dengan melihat ke depan.” Dan siang itu, mereka melihat ke belakang bukan untuk tinggal di masa lalu, tetapi untuk membawa semangatnya kembali ke hari ini—dalam versi mereka yang telah tumbuh, berubah, namun tak pernah benar-benar berbeda.
Slayer 29 bukan sekadar sekolah. Ia adalah ruang waktu, sebuah rumah jiwa, yang tetap hidup dalam dada mereka yang pernah duduk di bangku panjangnya, dengan mimpi, canda, cinta, dan luka khas remaja tahun 90-an.
Dokumentasi:
No comments