Ketika Audit Hanya Jadi Ritual: Pangandaran di Ambang Pembiaran (Tedi Yusnanda N)
Di sebuah daerah pesisir selatan Jawa Barat, anggaran publik mengalir setiap tahun seperti ombak yang tak henti menghantam karang,.berulang dan tak pernah lelah. Pangandaran, yang lahir dari pemekaran dengan harapan akan menjadi laboratorium pembangunan baru, kini justru seperti terperangkap dalam ruang stagnasi, terutama soal tata kelola keuangan daerahnya.
Isu bahwa Kabupaten Pangandaran kembali memperoleh opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk laporan keuangan tahun 2024 telah menjadi perbincangan panas di ruang-ruang publik. Meskipun hingga saat ini belum ada pengumuman resmi dari BPK, keraguan sudah menyebar seperti kabut pagi yang menutupi horizon: jika benar WDP kembali diraih, lantas di mana perbaikannya?
Tak ada perubahan signifikan yang bisa ditunjukkan. Tata kelola keuangan daerah masih berkutat di lubang yang sama: lemahnya akuntabilitas, laporan yang tidak sesuai standar, dan pengadaan barang-jasa yang kerap menjadi sarang masalah. Padahal, menurut teori tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), salah satu pilar utamanya adalah transparency dan accountability. Tanpa keduanya, pengelolaan keuangan daerah hanya menjadi aktivitas formal administratif yang kehilangan jiwa.
Lebih dari sekadar laporan tahunan, audit keuangan sejatinya memiliki makna filosofis yang mendalam. Dalam konteks negara hukum dan demokrasi, audit adalah sarana kontrol rakyat atas negara. Audit bukan sekadar alat teknis untuk menilai kesesuaian laporan keuangan, melainkan juga instrumen moral yang menjaga agar uang rakyat tidak disalahgunakan. Ia adalah mekanisme akuntabilitas publik, wujud konkret dari prinsip bahwa kekuasaan itu tidak absolut, dan setiap Rupiah yang dikeluarkan dari kas negara harus bisa dipertanggungjawabkan secara terbuka.
Secara teoretis, audit publik merujuk pada konsep social accountability, yaitu keterlibatan aktif masyarakat dalam menilai dan mengawasi jalannya pemerintahan. Sebagaimana dikemukakan oleh Paul Smoke dan Elaine T. Mans dalam kajian tentang tata kelola desentralisasi, keberadaan lembaga pengawas eksternal seperti BPK menjadi salah satu pilar penting dalam menjamin agar desentralisasi fiskal tidak melahirkan penyimpangan yang tak terkontrol. Audit membuka ruang dialog kritis antara negara dan warga negara. Ia mengingatkan bahwa kekuasaan administratif tidak boleh berjalan dalam gelap.
Tetapi di Pangandaran, audit justru menjadi wilayah yang diselubungi misteri. Dokumen audit sulit diakses oleh publik, seolah-olah menjadi milik pribadi para pejabat. Dalam praktiknya, masyarakat bahkan harus mendesak atau menggalang gerakan untuk meminta dibukanya hasil audit. Dan parahnya, gerakan ini kerap dipatahkan di tengah jalan, baik oleh tekanan eksternal maupun oleh pengkhianatan dari dalam.
Jika begini, maka audit telah kehilangan ruhnya. Ia tak lagi menjadi pintu masuk untuk perbaikan, melainkan sekadar simbol formal bahwa pemerintahan sudah "diawasi", padahal yang terjadi hanyalah pengulangan atas pengecualian yang tak pernah selesai.
Padahal, secara legal, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dengan tegas menyatakan bahwa laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK termasuk dalam informasi yang wajib tersedia secara berkala. Ini dikuatkan pula oleh Putusan Mahkamah Agung No. 156 K/TUN/2014 yang menyatakan bahwa laporan audit BPK tidak boleh dikecualikan secara keseluruhan dari akses publik.
Pembiaran terhadap praktik audit yang tertutup dan tidak menyentuh akar persoalan justru akan memperkuat siklus korupsi dan penyimpangan anggaran. Sebagaimana disebut dalam literatur ekonomi kelembagaan (institutional economics), insentif untuk bertindak jujur dalam birokrasi akan muncul ketika ada sistem pengawasan yang jelas, terbuka, dan berkonsekuensi. Tanpa itu, moral publik bisa terkikis, dan negara perlahan-lahan kehilangan kepercayaannya di mata rakyat.
Dan inilah yang sedang mengancam Pangandaran. Jika dugaan WDP kembali benar, dan publik dibiarkan tidak tahu, maka kita sedang membiarkan daerah ini masuk ke jurang pembiaran yang sistemik. Kecurigaan terhadap permainan mata antara pemerintah daerah dan lembaga pengaudit menjadi tidak terhindarkan. Bukan karena rakyat suka menuduh, tetapi karena proses yang tidak transparan selalu menyuburkan spekulasi.
Sebuah daerah yang sehat bukanlah yang bebas dari kesalahan, tetapi yang bersedia memperbaiki kesalahannya secara terbuka. Audit bukan sekadar stempel “wajar” atau “tidak wajar”, melainkan cermin bagi negara untuk melihat dirinya sendiri. Jika cermin itu diselubungi kabut, maka yang tampak hanya bayangan samar dan bayangan tidak akan pernah bisa memperbaiki luka.
Maka jika Pangandaran ingin selamat dari kebusukan birokrasi yang terus berulang, audit harus kembali dimaknai sebagai jalan terang menuju perubahan. Bukan sebagai tameng, bukan sebagai formalitas, dan bukan sebagai alat transaksi. Audit adalah hak rakyat, bukan hadiah dari penguasa.
Dan Pangandaran masih punya waktu untuk membuktikan bahwa dirinya layak dipercaya.
*Selatan Jakarta, 29 Mei 2025
No comments