Isu WDP Pangandaran Dan Tanda Tanya Publik: Tedi Yusnanda N, Desak BPK Buka Hasil Audit ke Masyarakat
Jakarta – Di tengah isu bahwa Pemerintah Kabupaten Pangandaran kembali meraih opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atas laporan keuangan tahun anggaran 2024, ruang publik mulai dipenuhi gumam curiga dan pertanyaan yang tak kunjung dijawab. Isu ini tidak hanya menyentuh ranah akuntabilitas fiskal, tetapi juga menguji kepekaan publik terhadap pengawasan atas uang negara.
Tedi Yusnanda N., Direktur Eksekutif Sarasa Institute, menyuarakan kritik tajam dan mendesak BPK Perwakilan Provinsi Jawa Barat dan BPK RI untuk membuka secara penuh hasil audit tersebut kepada masyarakat. Melalui sambungan telepon pada Rabu (14/5), Tedi menyampaikan bahwa keterbukaan informasi adalah fondasi dari demokrasi dan pengawasan publik yang sehat.
“Kalau dari tahun ke tahun Pangandaran tetap WDP, tapi tidak ada langkah korektif nyata terhadap temuan-temuan BPK sebelumnya, maka publik berhak curiga. Apakah proses audit hanya menjadi ritual administratif tahunan?” ujarnya.
Opini WDP, menurut Tedi, bukan sekadar label teknis, melainkan penanda bahwa pengelolaan keuangan negara di tingkat lokal mengalami masalah mendasar. Maka dari itu, hasil audit bukanlah dokumen eksklusif untuk elit pemerintahan, melainkan milik publik yang harus diakses terbuka.
“Audit harus jadi milik rakyat, bukan sekadar bahan pembicaraan elit birokrasi. Kalau tidak dibuka, bagaimana publik bisa ikut mengawasi?” tegasnya.
Ketertutupan: Ladang Subur Bagi Kecurigaan
Tedi menyampaikan keprihatinannya atas kecenderungan penutupan akses informasi audit yang hanya diberikan kepada bupati dan DPRD. Padahal, menurut UU No. 14 Tahun 2008 dan putusan Mahkamah Agung No. 156 K/TUN/2014, laporan audit keuangan adalah dokumen publik.
Keterbatasan informasi inilah yang kemudian melahirkan pertanyaan-pertanyaan liar di masyarakat. Terlebih lagi, Tedi mengungkap adanya gerakan masyarakat sipil yang sempat muncul untuk menuntut transparansi audit, namun tiba-tiba padam begitu saja.
“Gerakan itu awalnya cukup menggembirakan. Ada semangat warga untuk meminta kejelasan. Tapi mendadak senyap, hilang tak bersuara. Ini patut kita waspadai. Ketika gerakan mendadak padam, publik bisa saja bertanya-tanya, apakah mereka dibungkam? Apakah ada suap yang bermain?” ucap Tedi.
Gerakan Sosial Harus Terbuka, Bukan Gerilya
Tedi menegaskan bahwa gerakan masyarakat sipil dalam memperjuangkan transparansi harus terbuka, terang, dan dapat diakses oleh masyarakat luas. Keterbukaan bukan hanya soal etika, tetapi juga strategi menjaga legitimasi dan memperkuat daya tahan gerakan itu sendiri.
Mengutip teori Charles Tilly tentang mobilisasi sumber daya, Tedi menekankan bahwa gerakan sosial yang ingin bertahan dan berpengaruh harus mampu mengakses dan memaksimalkan kanal komunikasi publik, mulai dari media massa hingga media sosial.
“Kalau gerakan tidak terbuka dan hanya berlangsung di ruang tertutup, maka selain mudah dipatahkan, juga gampang dicurigai. Ketika gerakan senyap, masyarakat bisa bertanya-tanya: ‘Apakah mereka ditindas? Atau disuap?’ Ini merusak semangat kolektif,” ujar Tedi.
Tilly dalam kerangka political opportunity structure juga menyebut bahwa akses terhadap media dan ruang publik adalah kunci untuk mempertahankan tekanan sosial dan memperluas jejaring solidaritas. Tanpa itu, gerakan akan mudah tenggelam.
Lawan Ketertutupan dengan Media
Karena itu, Tedi mendorong aktivis, komunitas jurnalis, dan warga Pangandaran untuk tidak tinggal diam. Ia menekankan pentingnya memanfaatkan berbagai kanal, media online, siaran radio lokal, bahkan grup WhatsApp dan TikTok, Facebook, Instagram, X, Telegram dan sebagainya untuk menjadikan isu ini perbincangan publik yang aktif.
“Jangan biarkan ini mati di meja birokrat. Isu ini harus hidup di ruang publik. Diubah menjadi video singkat, pamflet digital, infografis yang mudah dipahami. Hanya dengan begitu masyarakat akan sadar dan ikut bersuara,” ujarnya.
Menurut Tedi, public pressure yang efektif adalah yang terlihat dan terdengar, bukan yang berjalan diam-diam.
Audit Adalah Hak Publik
Tedi kembali menegaskan bahwa audit keuangan negara adalah hak publik. Oleh karena itu, masyarakat Pangandaran harus berani mengajukan permintaan informasi publik secara legal, dan tidak ragu membawa kasus ini ke Komisi Informasi jika perlu.
“Kita harus dorong kontrol sipil. Jangan menunggu perubahan dari dalam birokrasi. Ini soal masa depan Pangandaran dan kepercayaan publik terhadap sistem,” pungkasnya.
"Transparansi bukanlah bentuk kebaikan hati dari penguasa, melainkan kewajiban konstitusional, dan gerakan masyarakat sipil bukanlah gerilya sunyi yang hanya bicara di belakang layar, melainkan kekuatan terang yang harus berdiri di ruang publik, terlihat, terdengar, dan tak bisa diabaikan." Ujar Tedi menutup pembicaraan.
(JBRMDS/0518/02/25)
No comments