Bos Buzzer Dibayar untuk Menyesatkan Akal Sehat: Skandal Uang, Propaganda, dan Upaya Membungkam Hukum
Jakarta — Satu demi satu tabir gelap propaganda digital mulai tersingkap. Kali ini, pusat sorot tertuju pada sosok M. Adhiya Muzakki (MAM), yang dikenal luas di lingkaran dalam dunia maya sebagai “bos buzzer”. Ia bukan sekadar pengatur strategi media sosial—ia adalah dalang dari sebuah jaringan siber yang memanipulasi opini publik, menyebar informasi sesat, dan yang paling serius: mencoba menghalangi proses hukum negara.
Kejaksaan Agung secara resmi menetapkan MAM sebagai tersangka dalam kasus dugaan perintangan penyidikan terhadap tiga perkara besar: skandal minyak goreng, tata kelola timah, dan impor gula. Ketiganya menyeret nama-nama besar, termasuk mantan Menteri Perdagangan, Thomas Lembong. Dalam pengakuan yang mencengangkan, MAM menerima aliran dana sebesar Rp 864,5 juta dari pengacara Marcella Santoso—bukan untuk membela hukum, tapi justru untuk mengacaukannya.
Mesin Opini yang Dibangun untuk Menyesatkan
Di balik layar, MAM memimpin sebuah tim bernama "Cyber Army", yang terdiri dari sekitar 150 orang buzzer aktif. Tugas mereka jelas: menyerang, mengalihkan, menyesatkan. Lewat akun-akun anonim di TikTok, Instagram, hingga Twitter (X), mereka menggempur narasi-narasi yang dianggap membahayakan klien mereka. Dan dalam kasus ini, target mereka adalah Kejaksaan Agung sendiri.
Alih-alih bertarung di ruang pengadilan, para pelaku memilih bertempur di lini komentar dan trending topic. Ini bukan sekadar pelanggaran etika. Ini adalah sabotase terhadap sistem keadilan.
Buzzer-buzzer itu dilatih untuk membuat konten yang tampak alami: video pendek dengan musik dramatis, potongan-potongan berita yang dipelintir, meme yang menyentuh emosi, bahkan utas-utas panjang yang dikemas dengan gaya populer namun penuh fitnah. Dalam jumlah besar dan waktu bersamaan, konten ini membanjiri media sosial, membentuk ilusi bahwa "publik" sedang marah kepada penegak hukum.
Nyatanya, "publik" itu adalah bayaran. Dan narasinya adalah pesanan.
Cara Kerja Jaringan: Dari Pesanan ke Trending Topic
Bagaimana sistem ini bekerja? Pertama, klien datang membawa masalah. Bisa pengusaha yang tersangkut perkara, bisa politisi yang ingin menjatuhkan lawan, atau siapa pun yang berkepentingan. Klien lalu menghubungi operator: sang bos buzzer.
Dari situ, mulailah kerja mesin propaganda. Tim kreatif menyusun konten, membuat berbagai versi narasi, lalu mendistribusikannya kepada para buzzer. Ada yang bertugas membuat video, ada yang khusus membuat akun tiruan untuk menyebarkannya, dan ada pula yang bertugas menyerang komentar akun-akun yang kritis.
Jam kerja mereka pun diatur: pagi saat orang bangun, siang saat jam makan, dan malam ketika netizen berselancar. Mereka menggunakan teknik manipulasi algoritma, menyewa bot, dan membuat ribuan komentar palsu agar narasi tampak viral. Semuanya berjalan rapi—seperti kantor pemasaran profesional, tapi untuk menjual kebohongan.
Bahkan, saat penyidikan mulai mengarah pada dirinya, MAM diketahui merusak ponsel pribadinya yang menjadi barang bukti. Upaya sistematis ini tak hanya menandai niat jahat, tapi menunjukkan betapa canggihnya jaringan yang ia kendalikan.
Saat Uang Bicara, Hukum Bisa Dibungkam
Kasus ini membuka mata publik bahwa di era digital, hukum bisa dilawan dengan tagar. Bahwa opini publik bisa direkayasa dengan algoritma. Dan bahwa kebenaran bisa dikubur oleh suara-suara yang dibayar untuk berbohong.
Namun, ada batas bagi segala tipu daya. Kejaksaan Agung, setelah penyelidikan intensif, menetapkan MAM sebagai tersangka dan menahannya selama 20 hari di Rumah Tahanan Kejagung. Ini bukan hanya langkah hukum, tetapi sinyal keras bahwa negara tidak akan tunduk pada tekanan buzzer—apalagi yang dibayar untuk mengacaukan penegakan hukum.
Buzzer Adalah Bisnis Kebohongan yang Terorganisir
MAM bukan satu-satunya. Di luar sana, ada banyak "bos buzzer" lain yang membangun jaringan serupa. Mereka menjual pengaruh. Mereka menyebar kebohongan dengan struktur dan disiplin kerja seperti perusahaan digital. Bahkan mereka mampu membuat kebenaran terlihat seperti fitnah, dan kejahatan terlihat seperti korban.
Mereka adalah para penjaja opini, pengacau ruang publik, dan pemadam akal sehat. Mereka bukan sekadar "netizen vokal", tapi industri propaganda yang menjual kebohongan demi keuntungan pribadi.
Siapa yang Diuntungkan? Siapa yang Dirugikan?
Yang diuntungkan tentu saja para pelanggar hukum, para politisi oportunis, dan mereka yang ingin menyembunyikan kejahatan di balik gemerlap media sosial. Tapi yang paling dirugikan adalah masyarakat luas—yang kini sulit membedakan mana kebenaran dan mana rekayasa.
Lebih dari itu, ketika ruang publik dikotori oleh suara-suara bayaran, demokrasi terancam. Hukum tak lagi dihormati. Dan kritik yang tulus bisa terkubur di bawah timbunan hoaks.
Saatnya Publik Melek: Jangan Mau Disetir Mesin Kebohongan
Skandal ini harus menjadi pelajaran penting. Bahwa kebebasan berekspresi di media sosial bisa dirusak oleh para penyewa opini. Dan bahwa satu orang yang punya cukup uang bisa membentuk opini seolah-olah itu suara rakyat.
MAM mungkin hanya satu dari sekian banyak pelaku. Tapi dengan terbongkarnya jaringan ini, publik seharusnya tidak lagi mudah percaya pada narasi viral, tidak gampang ikut menyebarkan postingan tanpa cek fakta, dan tidak menganggap bahwa suara mayoritas di kolom komentar adalah suara kebenaran.
Karena dalam era algoritma ini, kebohongan bisa dibikin ramai, asal ada uangnya.
No comments